Gede Pangrango dan Legenda Kabuyutan Sunda

Gede Pangrango dan Legenda Kebuyutan SundaSejarah Gunung Gede dan Pangrango diyakini mempunyai keterkaitan erat dengan dongeng dan legenda di tanah Sunda. Salah satunya, naskah perjalanan Bujangga Manik dari sekitar abad-15 telah menyebut-nyebut tempat bernama Puncak dan Bukit Ageung (yakni, Gunung Gede) yang disebutnya sebagai “..hulu wano na Pakuan” (tempat yang tertinggi di Pakuan).

Perjalanan Bujangga Manik merupakan salah satu naskah kuno berbahasa Sunda yang memuat kisah perjalanan seorang tokoh bernama Bujangga Manik mengelilingi Tanah Jawa dan Bali. Tokoh dalam naskah ini adalah Prabu Jaya Pakuan alias Bujangga Manik, seorang resi (agamawan) Hindu dari Kerajaan Sunda yang lebih suka menjalani hidup sebagai seorang resi. Walaupun sebenarnya ia seorang kesatria dari keraton Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda, yang bertempat di wilayah yang sekarang menjadi Kota Bogor.

legenda gede pangrango
Foto ilustrasi: Litografi berjudul “De Gunung Gede op Java” yang dibuat berdasarkan lukisan karya Friedrich Franz Wilhelm Junghuhn, seorang dokter dan peneliti alam asal Jerman. Junghuhn pernah mendaki puncak Gunung Gede selama penelitiannya di Jawa pada periode 1839-61. Karya ini dibuat sekitar 1853-54. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons)

Naskah ini sangat berharga karena menggambarkan geografi dan topografi Pulau Jawa pada saat naskah dibuat. Lebih dari 450 nama tempat, gunung, dan sungai disebutkan di dalamnya. Sebagian besar dari nama-nama tempat tersebut masih digunakan atau dikenali sampai sekarang, diantaranya yaitu Bukit Ageung atau yang sekarang kita kenal sebagai Gunung Gede.

Mengenal Istilah Kabuyutan

Kabuyutan (berasal dari bahasa Sunda: Uyut) adalah tempat suci dan tempat mempelajari ilmu keagamaan dalam agama Sunda dan dipimpin oleh seorang Resi Guru. Kabuyutan menunjukan bahwa nama ini mengacu pada kosmologi Sunda Asli. Lokasi kabuyutan biasanya berupa undakan batu (Punden Berundak).

Istilah Kabuyutan setidaknya sudah ada pada awal abad ke-11 M. Prasasti Sanghyang Tapak yang dibuat kira-kira tahun 1006-1016 M, menerangkan bahwa Prabu Sri Jayabupati (selaku Raja Sunda) sudah menetapkan sebagian dari wilayah walungan Sanghyang Tapak (ketika itu) selaku kabuyutan, yaitu tempat yang mempunyai pantangan yang harus dituruti oleh semua rakyatnya.

Adakalanya kabuyutan berfungsi sebagai kata sifat. Kata ini mengandung konotasi pada pertautan antargenerasi, bentangan waktu yang panjang, dan hal-ihwal yang dianggap keramat atau suci. Benda-benda tertentu, peninggalan para leluhur kerap dianggap kabuyutan, misalnya goong kabuyutan.

Kata ini juga bisa berfungsi sebagai kata benda. Dalam hal ini, arti kabuyutan merujuk pada tempat-tempat tertentu yang dianggap sakral. Wujudnya bisa berupa bangunan, tetapi bisa juga berupa lahan terbuka yang ditumbuhi pepohonan.

Sebagai kata benda, kabuyutan punya arti yang lebih spesifik, yakni tempat pendeta atau pujangga dahulu kala bekerja, atau tempat kegiatan religius. Di kabuyutanlah orang-orang terpelajar itu menulis naskah, mengajarkan ilmu agama, atau memanjatkan doa.

Sebagai tempat kegiatan religius, kabuyutan kiranya memperlihatkan salah satu jejak kebudayaan Sundayana di tatar Parahyangan. Kadang-kadang tempat tersebut disebut pula mandala.

Bagi para filolog, kabuyutan cenderung diartikan sebagai skriptorium, yaitu tempat membuat dan menyimpan naskah. Kabuyutan Ciburuy, di kaki Gunung Cikuray, Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut, adalah salah satu contohnya. Kabuyutan ini terletak lebih kurang 20 km di sebelah selatan Kota Garut.

Gede Pangrango dan Legenda Kabuyutan Sunda

Catatan lokal tertua yang menyebut Gunung Gede Pangrango adalah naskah Bujangga Manik yang ditulis sekitar abad ke-15. Di masa itu, masyarakat Kerajaan Sunda menyebut Gunung Gede sebagai Bukit Ageung. Bukan sekadar gunung, Bukit Ageung adalah kabuyutan alias tempat sakral bagi Kerajaan Sunda. Berdasarkan naskah tersebut, resi Bujangga Manik tercatat dua kali melintasi kawasan itu.

Sejarah gunung Gede Pangrango Zwaveldamp in de krater van de Gunung Gede op West Java - Gede Pangrango dan Legenda Kabuyutan Sunda
Foto ilustrasi: Gunung Gede tempoe doeloe. (Wikimedia.org)

Kali pertama saat ia memulai perjalanan spiritual keliling Jawa. Dari ibu kota Kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran yang diperkirakan terletak di daerah Kota Bogor, sang resi melewati rute laiknya pelancong Jakarta hari ini. Ia melewati Tajur Mandiri lalu Suka Beurus, hingga menanjak ke Puncak Toponimi yang hingga kini tidak banyak berubah.

Dalam catatan perjalanannya Bujangga Manik menulis dalam bahasa Sunda:

“Panjang tanjakan ditedak, ku ngaing dipeding-peding. Sadatang aing ka Puncak, diuk di na mungkal datar, teher ngahihidan awak. Teher sia nenjo gunung, itu ta na Bukit Ageung, hulu wano na Pakuan.

Bujangga Manik melewati lagi Gunung Gede dalam perjalanan pulangnya dari timur. Saat itulah ia menyebut Bukit Ageung sebagai tempat suci orang-orang Pakuan.

Sadatang ka Bukit Ageung, eta hulu Cihaliwung, kabuyutan ti Pakuan, sanghiang Talaga Warna.”

Terjemahan bahasa Indonesia:

“Panjang tanjakan yang kulalui, kutempuh dengan tekun. Setiba aku di Puncak, aku duduk di atas batu datar (rata) sambil mengipasi tubuh. Lalu aku memandang ke arah gunung, itulah Bukit Ageung, titik tertinggi di Pakuan.

Bujangga Manik melewati lagi Gunung Gede dalam perjalanan pulangnya dari timur. Saat itulah ia menyebut Bukit Ageung sebagai tempat suci orang-orang Pakuan.

Setiba di Bukit Ageung, itulah hulu Ci Liwung, kabuyutan dari Pakuan, [yaitu] sanghiang Talaga Warna.”

“Kutipan puisi itu memberikan petunjuk kepada kita bahwa di masa lampau, ketika negara yang beribukotakan Pakuan masih ada, Gunung Gede dengan Telaga Warna sudah merupakan kabuyutan atau tempat suci,” tulis budayawan Sunda Ayatrohaedi dalam “Kabuyutan di Gunung Gede dan Gunung Pangrango” yang terbit di harian Kompas (13 Agustus 2002).

Sebagaimana juga di Jawa belahan tengah dan timur, gunung punya posisi penting dalam kehidupan spiritual orang Sunda di masa lalu. Gunung dianggap sebagai pusat dunia dan dewa-dewi yang mereka puja bersemayam di puncaknya. Oleh karena itu banyak tempat suci keagamaan di Tatar Sunda berdiri di gunung. Kebudayaan Sunda Kuno mengenal beberapa macam tempat suci, di antaranya kawikuan, patapan, dewa sasana, mandala, dan kabuyutan.

Menurut peneliti Gumati Foundation Dani Sunjana, kabuyutan adalah jenis tempat suci yang paling banyak disebut dalam naskah-naskah Sunda Kuno. Kata asalnya adalah buyut yang bisa dimaknai sebagai nenek moyang dan roh mereka diyakini bersemayam di gunung-gunung.

Jadi, kabuyutan adalah situs tempat para leluhur atau raja-raja terdahulu diperdewakan. “Naskah Perjalanan Bujangga Manik menyebutkan tiga kebuyutan di Tatar Sunda yang masing-masing berlokasi di Bukit Pala, hulu Sungai Ciliwung di Bukit Ageung (Gunung Gede), serta di hulu Sungai Cisokan, di bawah Gunung Patuha,” tulis Dani dalam “Gunung Sebagai Lokasi Situs-situs Keagamaan dan Skriptoria Masa Sunda Kuno” yang terbit di jurnal Purbawidya (2019).

Penutup

Gunung di samping aktivitas alamiahnya yang bisa saja meletus atau melakukan erupsi, pada zaman dahulu (bahkan sampai sekarang) sering kali dijadikan sebagai tempat yang penting dan disakralkan. Seperti halnya gunung Gede yang tercatat sudah beberapa kali meletus dan erupsi, kilas sejarahnya juga tidak lepas dari cerita legenda yang berkaitan dengan spiritual. 

 

Referensi:

https://tirto.id

https://id.wikipedia.org

https://wikimedia.org

Bagikan tulisan ini:
INFOGEPANG
INFOGEPANG

Melayani jasa akomodasi pendakian gunung Gede Pangrango berupa penginapan, guide & porter, transport, rental perlengkapan dan paket pendakian. Informasi terkait layanan silahkan menghubungi kami.