Sejarah Gunung Gede Pangrango dan Kekayaan Alamnya

Sejarah Gunung Gede Pangrango merupakan satu hal menarik untuk diketahui terutama bagi para penggiat lingkungan dan pecinta alam. Dengan mendalami sejarahnya diharapkan kita akan bisa lebih menghargai betapa berharganya nilai-nilai historis yang terkandung di dalamnya. Penting bagi kita untuk senantiasa menjaga dan melestarikannya sehingga bisa dinikmati anak cucu kita kelak.

Gunung Gede Pangrango merupakan dua gunung di Jawa Barat dengan bermacam- macam kekayaan yang terdapat didalamnya. Kekayaan alam hayati baik flora dan fauna, sejarah, serta beragam aktifitas yang kerap dilakukan dikawasan ini.

Kalau selama ini kita mengira bahwa Gede Pangrango hanya identik dengan pendakian saja, maka sungguh keliru. Untuk itu, mari kita menggali dengan lebih dalam apa saja hal- hal yang terdapat di kawasan gunung legenda tanah Sunda ini.

Letak dan Keadaan

Letak Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) secara geografis bereada diantara 106º51-107º02BT dan 6º41-6º51 LS. Adapun secara administrastif termasuk ke dalam wilayah tiga Kabupaten di Provinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur.

peta - sejarah gunung gede pangarango
Peta letak geografis kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. (Google Maps)

Banyak yang mengira bahwa gunung Gede Pangrango merupakan nama dari sebuah gunung Gunung, namun faktanya Gede Pangrango merupakan dua gunung kembar yang berbeda ketinggian. Di mana ketinggian dari gunung Gede adalah 2.958 m dpl (diatas permukaan laut) sedangkan gunung Pangrango 3.019 m dpl. Kedua gunung ini dihubungkan oleh gigir gunung semacam sadel di ketinggian ± 2.400 m dpl, yang saat ini kita kenal sebagai daerah Kandang Badak.

Sejarah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Pemerintahan Kolonial Belanda sangat antusias untuk meningkatkan tanaman- tanaman penting dan mempunyai nilai ekonomis serta perkebunan komersial, sehingga dibentuklah suatu stasiun riset dan percobaan pertanian di daetah dataran tinggi tersebut.

Tak lama setelahnya, botanis-botanis lokal mulai tertarik untuk meneliti keanekaragaman tumbuhan di daerah sekitar pegunungan ini. Abad 19 merupakan masa-masa terbesar dan penting dalam sejarah koleksi tumbuhan, dan Cibodas menjadi salah satu lokal koleksi tumbuhan saat itu.

sejarah gede pangrango pendaki di puncak gede 1910 - Sejarah Gunung Gede Pangrango dan Kekayaan Alamnya
Puncak Gede, berlatar gunung Pangrango tahun 1910. (Twitter.com)

Pada tahun 1889, wilayah hutan diantara Kebun Raya Cibodas dan Air Panas ditetapkan menjadi Cagar Alam. Setelah tahun 1919, suatu kawasan cagar alam ditetapkan. Komitmen pertama kali dimulai tahun 1978, pada saat kawasan seluas 14,000 hektar, yang terdiri dari dua puncak utama dan lerengnya yang luas, ditetapkan sebagai Cagar Biosfer Gunung Gede Pangrango. Pada akhirnya, tahun 1980 seluruh kawasan yang semula terpisah ini disatukan menjadi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Kilas sejarah selengkapnya sebagaimana dikutip dari Wikipedia Indonesia, menyatakan bahwa kawasan Gunung Gede dan Gunung Pangrango telah dikenal lama dalam dongeng dan legenda tanah Sunda. Salah satu diantaranya, naskah perjalanan Bujangga Manik dari sekitar abad-15 telah menyebut-nyebut tempat bernama Puncak dan Bukit Ageung (yaitu Gunung Gede) yang disebutnya sebagai “..hulu wano na Pakuan” (tempat yang tertinggi di Pakuan). Sepertinya, pada masa itu telah ada jalan kuno yang menghubungkan antara Bogor (Pakuan) dengan Cianjur, yang melintasi lereng utara gunung Gede di sekitar Cipanas saat ini.

Pada masa penjajahan Belanda daerah yang subur ini tumbuh menjadi area pertanian, terutama perkebunan. Dari tahun 1728 teh Jepang mulai ditanam, kemudian di tahun 1835 perkebunan teh ini dikembangkan di Ciawi dan Cikopo. Selanjutnya pada tahun 1878 dikembangkan teh Assam yang memberikan hasil lebih baik, yang kemudian mengubah lansekap dan perekonomian di seputar lereng Gede Pangrango.

sejarah gunung gede pangrango - Koningsberger in de krater van de Gedé
J.C. Koningsberger in de krater van de Gedé. (Wikimedia.org)

Kawasan Gede Pangrango juga dikenal sebagai salah satu lokasi favorit dan tertua, untuk penelitian-penelitian tentang alam di Indonesia. Berdasarkan catatan modern, orang pertama yang menginjakkan kaki di puncak Gede adalah Reinwardt, pendiri dan direktur pertama Kebun Raya Bogor, yang mendaki gunung Gede pada bulan April tahun 1819. Ia meneliti dan menulis deskripsi vegetasi di bagian gunung yang lebih tinggi hingga ke puncak. Reinwardt sebetulnya juga menyebutkan, bahwa Horsfield telah mendaki gunung ini lebih dulu daripada dirinya, namun catatan perjalanan Horsfield tidak dapat ditemukan.

Dua tahun setelahnya, melalui surat yang dikirimkan dari Buitenzorg (sekarang Bogor) pada awal Agustus 1821, Kuhl dan van Hasselt menyatakan bahwa mereka baru saja menyelesaikan pendakian dan riset ke puncak Pangrango. Kedua peneliti muda itu mendapati banyak jejak dan jalur lintasan badak jawa di areal tersebut, bahkan mereka memanfaatkannya untuk memudahkan menembus hutan menuju puncak gunung Pangrango.

Selanjutnya 18 tahun kemudian Junghuhn mendaki ke puncak Pangrango pada bulan Maret 1839, dan juga ke puncak Gede dan wilayah sekitarnya pada bulan-bulan berikutnya, untuk mempelajari topografi, geologi, meteorologi, serta botani tetumbuhan di daerah ini. Sejak saat itu, tidak lagi terhitung banyaknya peneliti yang telah mengunjungi kawasan ini hingga sekarang, baik yang tinggal lama maupun yang sekadar singgah dalam kunjungan singkat.

Banyaknya peneliti yang berkunjung ke tempat ini tak bisa dilepaskan dari kekayaan dan keindahan alam di Gunung Gede Pangrango. Awalnya oleh keberadaan Kebun Raya Cibodas yang semula ketika dibangun pada 1830 oleh J.E Teijsman sebetulnya dimaksudkan sebagai kebun aklimatisasi bagi tanaman-tanaman yang potensial untuk dikembangkan dalam perkebunan. Kebun yang kemudian dikembangkan menjadi kebun raya ini menyediakan tempat menginap yang cukup baik, sarana penelitian, serta catatan-catatan dan informasi dasar yang terus bertumbuh mengenai keadaan lingkungan dan hutan di sekitarnya.

Pada tahun 1889, berdasarkan usulan Treub, sebidang hutan pegunungan dengan luas 240 hektar di atas kebun raya tersebut hingga ke wilayah sekitar Air Panas ditetapkan sebagai cagar alam oleh Pemerintah Hindia Belanda. Inilah cagar alam dan kawasan konservasi ragam hayati yang pertama didirikan di Indonesia. Kemudian pada 1926, cagar alam ini diperluas hingga mencakup puncak-puncak gunung Gede dan Pangrango, dengan luas total 1.200 hektar.

sejarah gunung gede pangrango - Zwaveldamp in de krater van de Gunung Gedé op West Java
Zwaveldamp in de krater van de Gunung Gedé op West Java. (Wikimedia.org)

Sejalan dengan peningkatan kesadaran mengenai pentingnya lingkungan hidup, pada tahun 1978 pemerintah Indonesia menetapkan Cagar Alam (CA) Gunung Gede Pangrango seluas 14.000 hektar, melingkupi kedua puncak gunung beserta tutupan hutan di lereng-lerengnya. Kemudian pada 6 Maret 1980 cagar alam ini digabungkan dengan beberapa suaka alam yang berdekatan dan ditingkatkan statusnya menjadi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang menjadi salah satu dari lima taman nasional yang pertama di Indonesia, dengan luas keseluruhan 15.196 hektar.

Akhirnya, melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 174/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 tentang Penunjukan dan Perubahan Fungsi Kawasan Cagar Alam, Taman Wisata Alam, Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Gede Pangrango. Kawasan TN Gunung Gede Pangrango memperoleh tambahan area seluas 7.655,03 hektar dari Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, sehingga total luasannya kini menjadi 22.851,03 hektar.

Pada tahun 2003, melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 174/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 tentang Penunjukan dan Perubahan Fungsi Kawasan Cagar Alam, Taman Wisata Alam, Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Gede Pangrango, kawasan TN Gunung Gede Pangrango diperluas dengan area kawasan hutan yang berdekatan, yang semula di bawah pengelolaan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat menjadi ± 21.975 hektar.

Setelah melalui proses yang panjang dan pengukuran ulang tata batas kawasan, pada 2009 dilakukan serah terima pengelolaan kawasan hutan dari Perum Perhutani III Jawa Barat dan Banten kepada Balai Besar TNGGP, dengan total area yang dialihkan pengelolaannya seluas 7.655,03 hektar, sehingga total luasan TNGGP lalu menjadi 22.851,03 hektar. Kemudian melalui Surat Keputusan Menhut RI No SK.3683/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 08 Mei 2014, kawasan hutan TNGGP diperluas, ditetapkan dan dikukuhkan menjadi seluas 24.270,80 hektar.

Kekayaan Alam

Keanekaragaman hayati yang berada di Gunung Gede Pangrango sangat melimpah, terutama flora pegunungan. Berdasarkan catatatan sejarah yang telah dituliskan di atas dapat diketahui bahwa kekayaan di kawasan ini menarik banyak ahli dan peneliti untuk mengeksplorasi kawasan Gunung Gede Pangrango. Seperti misalnya Thunberg yang telah membuat kajian botani pada tahun 1777 di wilayah ini. Lalu kemudian Blume yang mendaki puncak gunung Gede, yang untuk pertama kalinya menggunakan jalur pendakian yang kita kenal saat ini sebagai jalur pendakian Cibodas. Kemudian diikuti oleh Wallace yang mengikuti jalur ini pada tahun 1861 dalam rangka mengoleksi burung dan serangga.

Secara garis besar para ahli membedakan tipe hutan primer yang ada di kawasan pegunungan ini menjadi dua jenis, yaitu tipe hutan tinggi dan tipe hutan elfin atau hutan lumut yang selanjutnya disebut pula dengan hutan alpinoid atau vegetasi sub alpin. Untuk tipe hutan tinggi lebih lanjut dibagi menjadi dua bagian yakni hutan pegunungan bawah dan hutan pegunungan atas.

Flora

Taman nasional ini terutama dikenal karena kekayaan flora hutan pegunungan yang dimilikinya. Sebagai gambaran, di seluruh wilayah CA Cibodas-Gede (kini bagian dari Taman Nasional), pada ketinggian 1.500 m dpl hingga ke puncak Gede dan Pangrango, tercatat tidak kurang dari 870 spesies tumbuhan berbunga dan 150 spesies paku-pakuan. Jenis-jenis anggrek tercatat hingga 200 spesies di seluruh Taman Nasional.

Van Steenis selanjutnya juga mencatat, dari 68 spesies tumbuhan pegunungan yang langka dan hanya diketahui keberadaannya di satu gunung saja di Jawa, 9 jenis di antaranya tercatat hanya dari Gunung Gede, dan 6 dari 9 jenis itu endemik Jawa.

bunga edelweiss suryakencana
Edelweis jawa (Anaphalis javanica) di Alun-Alun Surya Kencana. (Fauzi Kasimov)

Jenis edelweis jawa (Anaphalis javanica) yang tumbuh melimpah di Alun-alun Suryakancana sangat populer di kalangan pendaki gunung dan pecinta alam, sehingga dijadikan maskot taman nasional ini. Akan tetapi yang endemik Jawa dan agak jarang dijumpai sebetulnya adalah kerabat dekatnya, Anaphalis maxima, di TNGGP hanya didapati di gunung Pangrango dekat Kandang Badak. Beberapa jenis endemik lain yang didapati di kawasan ini diantaranya sejenis uwi Dioscorea madiunensis, sejenis jernang Daemonorops rubra, pinang hijau Pinanga javana, sejenis kapulaga Amomum pseudofoetens dan masih banyak lagi.

Fauna

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango memiliki kekayaan jenis hewan yang cukup tinggi, terutama di zona hutan pegunungan bawah. Beberapa jenisnya yang terhitung langka, endemik atau terancam kepunahan, di antaranya, adalah owa jawa (Hylobates moloch), lutung surili (Presbytis comata), anjing ajag (Cuon alpinus), macan tutul (Panthera pardus), biul slentek Melogale orientalis, sejenis celurut gunung Crocidura orientalis, kelelawar Glischropus javanus dan Otomops formosus, sejenis bajing terbang Hylopetes bartelsi, dua jenis tikus Kadarsanomys sodyi dan Pithecheir melanurus.

Fauna Gede Pangrango - Owa Jawa
Owa jawa (hylobates moloch) salah satu hewan endemik yang ada di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. (instagram.com/markleonspence)

Beberapa jenis burung seperti elang jawa (Spizaetus bartelsi), serak bukit Phodilus badius, celepuk jawa Otus angelinae, cabak gunung Caprimulgus pulchellus, walet gunung Collocalia vulcanorum, pelatuk kundang Reinwardtipicus validus, ciung-mungkal jawa Cochoa azurea, anis hutan Zoothera andromedae, dan beberapa spesies lain. Sejenis ular pegunungan Pseudoxenodon inornatus yang jarang kemungkinan juga terdapat di sini; juga beberapa jenis amfibia langka seperti katak merah (Leptophryne borbonica), dan sejenis sesilia Ichthyophis hypocyaneus.

Hewan-hewan lain yang acap dijumpai, di antaranya monyet kra (Macaca fascicularis), lutung budeng (Trachypithecus auratus), teledu sigung (Mydaus javanensis), tupai akar (Tupaia glis), tupai kekes (T. javanica), tikus babi (Hylomys suillus), jelarang hitam (Ratufa bicolor), bajing-tanah bergaris-tiga (Lariscus insignis), pelanduk jawa (Tragulus javanicus) dan lain-lain. Seluruhnya, lebih dari 100 jenis mamalia serta lk. 250 jenis burung.

Pengelolaan Kawasan

Pengelolaan kawasan TNGGP berada di bawah Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tanggung jawab pengelolaan ini berada di tangan Balai Besar TNGGP yang dipimpin oleh seorang kepala balai. Kantor Balai Besar TNGGP berada di Cibodas, dan dalam pengelolaan operasionalnya dibagi menjadi 3 (tiga) Bidang Pengelolaan Taman Nasional (BPTN), yaitu Bidang PTN Wilayah I Cianjur, Bidang PTN Wilayah II Sukabumi, dan Bidang PTN Wilayah III Bogor.

Selanjutnya ketiga Bidang PTN dibagi menjadi 6 Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN), dan dibagi lagi menjadi 15 Resort Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) dengan tugas dan fungsi melindungi dan mengamankan seluruh kawasan TNGP dalam mewujudkan pelestarian sumberdaya alam menuju pemanfaatan hutan yang berkelanjutan.

Penutup

Demikian tulisan tentang sejarah gunung gede dan pangrango semoga bisa bermanfaat untuk menambah wawasan terkait sejarah dan perkembangannya. Sesuatu yang mempunyai nilai sejarah yang panjang sudah sepatutnya kita jaga dan lestarikan. Hal sederhana yang bisa kita lakukan sebagai pecinta alam untuk menjaga kelestarian gunung diantaranya “bawa turun sampahmu”.

Bawa turun sampahmu, mungkin kalian sudah pernah mendengar kampanye tersebut? Perlu diketahui bahwa kampanye tersebut muncul dari rasa keprihatinan publik terhadap kondisi gunung-gunung di Indonesia. Oleh sebab banyak “oknum” pendaki yang dengan lantang menyerukan “salam lestari” tetapi kenyataan sikap dan perilakunya tidak mencerminkan rasa ingin melestarikan (baca: nyampah). Yuk bisa yuk, mari kita jaga dan lestarikan.

 

Referensi:

http://www.gedepangrango.org

https://id.wikipedia.org

Bagikan tulisan ini:
INFOGEPANG
INFOGEPANG

Melayani jasa akomodasi pendakian gunung Gede Pangrango berupa penginapan, guide & porter, transport, rental perlengkapan dan paket pendakian. Informasi terkait layanan silahkan menghubungi kami.