Cerita Lawas Pendakian Gunung Gede: Hipotermia di Kandang Badak (1999)

Cerita lawas pendakian Gunung Gede Pangrango ini dibagikan oleh akun facebook Lukas Priyatno. Cerita ini mengisahkan tentang perjalanan mendaki pertamanya ke Gunung Gede pada tahun 1999. Namun sayangnya pendakian tidak berjalan dengan mulus karena anggota kelompok pendaki mengalami Hipotermia.

Hipotermia adalah suatu kondisi di mana mekanisme tubuh untuk pengaturan suhu kesulitan mengatasi tekanan suhu dingin.

https://id.wikipedia.org/wiki/Hipotermia

Adapun dalam penulisan kembali di blog ini dilakukan sedikit peneysuaian pada susunan dan pilihan kata yang digunakan agar lebih mudah dipahami. Namun tentunya tanpa merubah esensi dan alur dari cerita asli.

Entah berapa lama gue mengalami hal itu, kepala ini mulai mendengar hal-hal yang tidak biasa. Gue dengar suara riuh keadaan dirumah, seketika gue jadi kangen ibu gue.

Dengan peralatan seadanya, kami ke Gunung Gede

Bekasi 1999/2000 Gunung Gede Pangrango. Gunung pertama yang ku daki bersama ke lima teman ku yaitu Uthis, Encam, Dolang, Eko dan Syarip.

Berawal dari gagasan Encam dan Uthis karna Syarip ingin merayakan pergantian tahun di puncak gunung dan akhirnya terpilihlah Gunung Gede Pangrango.

Gue, Uthis dan Eko satu sekolahan, kalau tidak salah waktu itu sedang libur sekolah dan kami pun melakukan pendakian berenam. Satu hari sebelumnya kami berkumpul di basecamp (rumah Encam) untuk packing peralatan muncak, bisa dibilang peralatan seadanya.

Semua masih sangat sederhana, lentera atau biasa kami menyebutnya (lampu badai) yang diisi dengan minyak tanah dan kompor pun masih berbahan bakar dengan minyak tanah. Tas keril pun terbilang minim. Seinget gue kami membawa dua tas keril dan sisanya memakai tas biasa, sepatu seadanya bahkan kami masih memakai sendal jepit waktu muncak.

Camp dengan tenda Pramuka

Pagi hari kami berangkat menuju terminal bekasi kemudian sampai di basecamp Gunung Gede via Cibodas. Sesampainya di basecamp, Encam langsung mengurus simaksi dengan biaya seingat gue sekitar 3000 rupiah/orang. Setelah semuanya beres kami bergegas untuk segera memulai pendakian. Gue cukup bersemangat karena ini merupakan pendakian kali pertama.

Anak tangga berbentuk batu batu tersusun menanjak, hutan lebat mengiringi perjalanan kami. Tak banyak yang bisa gue ingat mengenai detail situasi dan kondisi medan pada saat itu, karena sudah lebih dari 20 tahun berlalu.

Namun karena itu adalah pendakian pertama gue, trek Gunung Gede memang cukup memberikan tantangan. Tak lama kami sampai di air belerang, di sana Encam dan Uthis merendam telur dan membuat kopi dengan memanfaatkan panasnya air tersebut.

Kami menikmati indahnya pemandangan alam sekitar dengan beberapa cangkir kopi dan berbagi telur ala-ala hasil “racikan” Encam dan Uthis tadi.

Tak terasa langit sudah mulai gelap, kami memutuskan untuk segara melanjutkan perjalanan. Setelah melalui perjalanan yang yang cukup melelahkan akhirnya kami sampai di Kandang Badak. Kami berbagi tugas untuk mencari tempat mendirikan tenda dan sumber air untuk keperluan di sana.

Kami tidak kesulitan mencari tempat karena memang tak banyak pendaki yang camp di lokasi tersebut. Pada saat itu, minat untuk mendaki memang bisa dibilang masih minim. Gue masih sering dengar orang-orang berkata “ngapain mendaki cape capein doang“.

Masih terbesit dalam ingatan, tenda yang kami gunakan berbentuk segitiga berwarna biru, yang merupakan tenda pramuka. Jika terjadi hujan dipastikan air akan perlahan masuk kedalam tenda.

Langit Kandang Badak sudah gelap gulita, dari luar tenda gue denger suara krincing dari pendaki lain yang melewati tenda kami.

“Permisi bang.” Ucap kelompok pendaki yang melewati tenda kami.
“Mampir dulu bang, ngopi.” Sahut kami.

Saling bertegur sapa sudah menjadi hal yang biasa dilakukan sesama pendaki, ini jadi cerminan bahwa kita semua sama. Penting bersikap ramah terhadap sesama pendaki, karena kita tidak pernah tahu mungkin saja akan membutuhkan bantuan mereka nantinya.

Menahan dingin dan menjadi halu

Malam semakin dingin dan hal yang kami takutkan pun terjadi. Ya, hujan!

Hujan turun cukup deras malam itu, dan kami hanya mengandalkan jaket atau sweeter dengan dibalut sarung yang kami bawa. Ya, ini sudah menjadi risiko karena memang perlengkapan yang kami bawa sangat minim.

Gue berusaha untuk tidur sambil tubuh menggigil menahan dinginnya suasana malam di Gunung Gede. Ketika berhasil tidur, gue harus terbangun karena merasa celana yang gue pakai basah, ternyata Syarip muntah tepat dicelana gue.

Kemudian kami semua bangun untuk membersihkan muntahan itu, dan Syarip sepertinya masuk angin. Tak banyak yang bisa gue ingat selain melihat Syarip dikerokin sama Encam, sungguh sangat romantis haha.

Setelah itu, semalaman gue harus menahan dingin yang luar biasa dan itu sangat menyiksa. Gue mulai merasakan sesak nafas, kepala gue mulai pusing dan jantung gue terpompa lebih cepat. Tapi itu cuma gue rasain sendiri, tanpa bilang pada teman-teman satu tenda, karena gue pikir mereka pasti merasakan hal yang sama.

Entah berapa lama gue mengalami hal itu, kepala ini mulai mendengar hal-hal yang tidak biasa. Gue mendengar suara riuh keadaan dirumah lalu seketika gue jadi kangen ibu gue. Setelah itu gue mendengar ada suara kerincing pendaki lain yang melewati tenda kami. Kalau dari bunyi tapak kakinya gue mengira ada sekitar dua orang yang berjalan beriringan.

Entah sejak kapan akhirnya gue tertidur pulas.

Keselamatan jiwa lebih penting

Pagi pun datang, kami semua bangun kemudian menyiapkan sarapan namun gue benar-benar gak nafsu makan pagi itu.

“Kas lu makan dikit banget.” kata Uthis.
“Tau lu Kas, makan nih iih” Encam pun menimpali.

Tapi memang gue gak ada selera makan pagi itu, entah kenapa.

Setelah semuanya beres kami packing peralatan dan melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Gede. Kalau istilah pendaki sekarang summit, tapi bagi kami tak ada istilah itu karena kami penikmat perjalanan.

Perjalanan membawa kami sampai di jembatan setan atau tanjakan setan. Gue masih ingat, ada beberapa sepatu dan tas keril yang sudah usang tersangkut di epohonan sekitar jurang.

Di sana gue lihat cukup ramai pendaki akan turun dari puncak Gunung Gede. Karena tanggal satu semua pendaki harus turun, oleh sebab kawah yang biasanya akan mengeluarkan banyak asap belerang.

“Kas muka lu pucet banget.” Tegur Encam
“Aah masa sih , tapi gue gak apa apa ko.” Jawab gue.
“Iya kas , lu sakit ya?” Uthis menimpali.
Agak pusing sih kepala gue dari semalem.”
“Yaah lu sih makan dari pertama muncak gak mau terus , lu kena Hipo Kas!” Jawab Encam dan Uthis.

Sejak saat itu, gue lebih banyak duduk karena kepala terasa semakin pusing. Sambil memakan roti bersama Syarip, ternyata dia juga merasakan apa yang gue alamin dari semalam.

Mengetahui kondisi teman mendakinya tidak dalam keadaan baik, Encam mengusulkan untuk menghentikan perjalanan ke puncak Gede.

Yaudah kita gak usah kepuncak dan kita sampai sini aja ya.”
“Janganlah, lu lanjut aja gue sama Syrip tunggu di sini sambil jaga tas. Kan lebih cepet kalau gak bawa beban.” gue menimpali usul dari Encam.

Setelah melalui diskusi yang cukup alot, akhirnya diputuskan empat orang lanjut ke puncak Gunung Gede yaitu Encam, Uthis, Eko dan Dolang. Sedangkan gue sama Syarip menunggu di sekitar Jembatan Setan atau Tanjakan Setan.

Namun, gue melihat cukup banyak pendaki yang turun, seperti tak ada habisnya berlalu lalang diantara kami. Sehingga cukup menyulitkan teman-teman gue yang akan melanjutkan perjalanan.

Akhirnya Encam terabas mengambil jalur kiri lalu memanjat menggunakan akar-akar pohon. Setau gue sekarang jalur itu banyak digunakan dan Encam orang pertama yang buka jalur tersebut, setahu gue sih.

Mereka mulai merangsek naik menuju puncak Gunung Gede, sedangkan gue cuma bisa membayangkan indahnya pemandangan di atas sana. Hmmm.. sudahlah tak apa keselamatan lebih penting, pikir gue.

Entah berapa lama akhirnya keempat kawan gue akhirnya kembali turun dan kami bergabung kembali menjadi full team. Selepas itu, tak banyak yang mereka ceritakan karena mungkin menjaga perasaan gue dengan Syarip yang gagal ke puncak karna efek terserang Hipotermia.

Kemudian kami berenam kembali melanjutkan perjalanan untuk turun menuju basecamp dan pulang kerumah dengan selamat.

Selesai.

Pesan dari penulis sekaligus tokoh utama pada cerita tersebut:

  1. Pahami gejala hipotermia, jangan tidur dengan pakaian yang basah dan pastikan perut tidak dalam keadaan kosong
  2. Jangan ragu untuk bilang dan meminta bantuan kepada teman mendakimu apabila mengalami hal yang kurang baik.
cerita lawas pendakian gunung gede
Pendakian Gunung Gede Pangrango (1999). Foto: Lukas Priyatno.

Demikian cerita kisah perjalanan pendakian Gunung Gede dengan latar tahun 1999. Jangan lewatkan untuk membaca cerita pendaki menarik lainnya di blog ini ya.

Link Referensi:

  1. Sumber cerita: facebook.com/groups/806938603369299/posts/865442597518899
  2. Hipotermia: id.wikipedia.org/wiki/Hipotermia
Bagikan tulisan ini:
INFOGEPANG
INFOGEPANG

Melayani jasa akomodasi pendakian gunung Gede Pangrango berupa penginapan, guide & porter, transport, rental perlengkapan dan paket pendakian. Informasi terkait layanan silahkan menghubungi kami.