Cerita Mistis Gunung Gede: Diikuti Penunggu Telaga Warna (2)

Cerita Mistis Gunung Gede ini diadaptasi dari kisah nyata yang dialami penulis ketika melakukan perjalanan mendaki pertamanya ke Gunung Gede pada tahun 2006. Adapun tulisan ini merupakan cerita lanjutan dari part sebelumnya yaitu Cerita Mistis Gunung Gede: Diikuti Penunggu Telaga Warna (1).

“Kalian semua harus turun dari gunung ini, kalian sudah di kepung. Penghuni gunung ini marah kepada salah satu teman kalian yang berbuat kurang ajar. Nanti kalian akan tahu siapa orangnya pada saat menuruni Simpang Maleber.”

Malam yang Mencekam di Suryakencana

Waktu sudah masuk Pukul 21.15, rombongan Bandung memindahkan tendanya tepat disebelah kanan dan rombongan Bekasi berada di sebelah kiri tenda rombongan saya, saling berdekatan membentuk lingkaran. Sala satu anggota rombongan Bekasi yang tadi kesurupan dan sempat sadar, kini kembali bertingkah aneh. Namun karena kami kasihan, tali tambang yang mengikat tangan dan badannya perlahan kami lepaskan.

Situasi cukup terkendali hingga sekitar pada pukul 22.30, tiba tiba Aming berdiri sambil bertolak pinggang seperti menantang kami semua kemudian tertawa kencang “hahaha hahaha hahahaha” berulang-ulang kali, kami semua kembali panik.

cerita mistis gunung gede pangrango
ilustrasi kesurupan.

Di sisi lain, Bamba salah satu teman rombongan saya kondisi tubuhnya menurun dengan gejala hipotermia. Tenda rombongan Bekasi kembali riuh, ternyata ada anggota rombongan yang kesurupan lagi. Situasi di sektiar tenda-tenda kami sangat tidak kondusif dan berisik oleh teriakan-teriakan anggota rombongan yang kerasukan. Hal ini membuat para pendaki lain mulai berdatangan untuk menolong.

Mala itu, kabut cukup tebal menyelimuti langit Suryakencana yang disertai hembusan angin yang cukup kencang. Aming masih meronta-ronta ketika saya dan rombongan Bekasi memeganginya, sedangkan Bamba ditolong oleh pendaki lain karena hipotermia. Adapun rombongan Bekasi yang kesurupan dipegangi oleh beberapa beberpa orang dari rombongan Bandung sambil dibacakan ayat-ayat Al-Quran.

Jeritan dan ketawa Aming sangat memekakan kuping kami, membuat mental kami semua down, berbagai upaya sudah kami lakukan namun tidak membuahkan hasil, kami kewalahan. Suasana semakin mencekam, beberapa pendaki lain berdatangan menghampiri tenda kami untuk memberikan pertolongan.

Ditengah paniknya saya di situasi tersebut, tiba-tiba Polan menepuk pundak lalu menunjuk ke arah dua orang pendaki yang kemarin bertemu di persimpangan. Saya dan Polan saling pandang, lalu kembali mengarahkan pandangan kepada 2 pendaki tersebut yang berada diantara para pendaki lain yang sedang menolong teman kami.

Kemudian kedua pendaki tersebut menghampiri saya dan Polan, semakin mendekat terlihat mukanya pucat pasi, masih menggunakan setelan pakaian dan tas yang sama, ransel era 80-an. Salah satunya berdiri di samping saya sambil melihat lirih Aming yang tengah berteriak-teriak. Lalu seketika Aming terdiam dan pingsan, satu yang lainnya mendekati rombongan Bekasi yang sedang berusaha menenangkan anggota rombongannya yang juga sedang kerasukan. Anehnya seperti Aming tadi, setelah dihampiri pendaki misterius tersebut tiba-tiba si orang yang kerasukan hening lalu pingsan. Semetara itu kondisi Bamba kondisi tubuhnya mulai membaik berkat pertolongan dari pendaki lain.

Salah satu dari pendaki misterius yang tadi berdiri di sebelah saya berbicara dengan suara parau

“Kalian semua harus turun dari gunung ini, kalian sudah di kepung. Penghuni gunung ini marah kepada salah satu teman kalian yang berbuat kurang ajar. Nanti kalian akan tahu siapa orangnya pada saat menuruni Simpang Maleber.”

Kemudian pendaki tersebut beranjak dan berjalan ke depan menerabas beberapa pendaki yang masih sibuk menolong teman kami.

Polan memanggil Alvin dan Dodi, kami berempat berdiskusi untuk merencanakan turun lewat jalur Gunung Putri, Dodi menolak dengan alasan ini sudah malam. Sedangkan Alvin setuju, akhirnya dengan bujuk rayu kami bisa meyakinkan Dodi. Bagaimanapun, gangguan-gangguan ini membuat kami berpikir untuk segera meninggalkan tempat ini (alun-alun Suryakencana).

“Mereka” Menggangu Karena Diusik

Pukul 00.30 kami semua berkemas, saya di briefing oleh Dodi dan Alvin bahwa malam ini kami semua harus segera turun apapun yang terjadi semua tidak boleh berpencar. Setelah keadaan Aming, Bamba dan pendaki rombongan Bekasi mulai pulih, pukul 01.00 dini hari kami bergerak menuju Pintu Timur alun-alun Suryakencana. Perjalanan kami diiringi tiupan angin cukup kencang dan cahaya sinar bulan yang remang-remang saat itu.

Sepanjang perjalanan kami menuju pintu timur alun-alun Suryakencana diiringi suara burung gagak yang saling bersahutan. Entah berada di mana burung-burung tersebut, yang pasti kami semua mendengarnya sampai tiba di pintu timur. Kami beristirahat untuk minum, lalu bergerak menuruni jalan yang landai menuju pos 5.

Lanjut perjalanan melalui akar pepohonan dengan jalan yang sempit, sekitar pukul 02.30 kami tiba di Pos 4. Namun terhenti sejenak karena ada 2 jalur jalan bercabang di depan kami, salah seorang dari rombongan Bekasi mendahului saya. Dia adalah Wedi yang merupakan ketua rombongan Bekasi, nyelonong sambil berkata sompral

“Ayo jalan, jangan takut kita terabas aja siapapun yg menghalangi jalan.”

Saya dan Polan tiba-tiba refleks mengejarnya, terjadi sedikit perkelahian antara saya, Polan dan Wedi di Pos 4, Polan saat itu sudah sangat kesal dengan rombongan dari Bekasi. Polan berteriak sambil menunjuk ke arah Wedi

“Ehh berhenti lu!”

Kemudian memukul bagian kepala Wedi menggunakan botol minuman. Terjadilah dorong-dorongan antara Polan dan Wedi, saya dan Dodi segera melerai mereka berdua. Namun Wedi malah berkata kasar ke arah kami semua

Tai lu semua! Maju semua lu gw kagak takut!” sambil berteriak dengan nada tinggi.

Karena tersulut mungkin ikut emosi, seketika Dodi langsung mencekik dan membanting tubuh Wedi ke tanah. Badannya membentur sebuah akar hingga dia meringis kesakitan. Polan yang ikut naik darah mengeluarkan pisau belati hampir saja menusuk Wedi saat itu, kalau tidak saya hadang.

Saat itu kondisi sedang gerimis, ditengah kericuhan tersebut, tiba-tiba terdengar suara perempuan tertawa dari balik pepohonan, suara yang kami kenal saat kami memulai pendakian kemarin. Ya sosok wanita bungkuk bertongkat itu kembali menampakkan diri di sela pepohonan. Selain itu, ada juga sosok lain yaitu wanita berjubah putih, seorang anak kecil dengan lengan panjang hingga menyentuh tanah, sosok kakek-kakek dan nenek-nenek yang menggunakan tusuk konde.

hutan angker
ilustrasi situasi hutan angker

Semua yang berada di lokasi melihatnya dan terdiam, tangan Dodi menutup mulut Wedi yang masih meringis kesakitan. Tubuh saya seolah kaku setelah melihat beberapa sosok sekaligus dihadapan saya. Begitupun dengan teman-teman yang lainnya, hanya diam dan tak melakukan aktifitas apapun selain mungkin berdoa didalam hati masing-masing. Sosok-sosok tersebut menatap kami dengan tatapan penuh amarah, terlebih ke arah Wedi karena perempuan yang memegang tongkat menunjuk ke arah Wedi dan Dodi.

Entah datang dari mana, dari sisi kanan turunan sosok dua pendaki misterius kembali muncul menghampiri saya dan Polan lalu berkata

“Katakan kepada temanmu, tinggalkan batu yang dia ambil kemarin.”

Saya kebingungan siapa orang yang dimaksud, lalu Polan memberi kode ke saya burupa isyarat ke arah Wedi dan Dodi. Dalam kondisi yang masih ketakutan kami menghampiri mereka lalu Polan merogoh saku Wedi depan dan belakang. Ditemukan sebuah batu di saku kiri depan, menyala hijau seperti batu akik lalu Polan menyerahkannya kepada saya. Batu itu seperti fosfor yang menyala terang dikegelapan, lalu kedua pendaki misterius mendekati saya dan mengambil batu itu. Mereka membawa batu itu ke arah sosok-sosok yang sedari tadi menatap tajam ke arah kami.

Seketika sosok-sosok tersebut menghilang satu per satu. Saya membangunkan Wedi, yang masih meringis kesakitan lalu berbicara persis didepan telinganya

“Ternyata ini ulah elu dari awal, hah?” tanyaku, kesal.

Wedi terdiam.

Bamba memberikan 3 buah tali ke pada saya, maksdunya untuk diikatkan ke tas kita semua. Rombongan Bandung mengikuti dengan mengeluarkan tali tenda pramuka kemudian saling mengikatkannya ke tas. Tujuannya agar kami semua tidak berpencar pada saat perjalanan turun menuju basecamp.

Waktu tak terasa sudah pukul 03.10 dari jam Polan yang kacanya retak yang diterangi senter Dodi. Kemudian Dodi lanjut bertanya kepada saya

“Gimana nih? Turun nggak?”

Lalu saya merespon dengan menganggukan kepala.

Pulang dengan Sebuah Pelajaran Berharga

Saat itu saya berada diposisi paling depan, namun karena ini pertamakalinya melewati jalur Putri, perjalanan menuruni jalur cukup merepotkan dan memakan waktu. Pukul 04.15 kami tiba di Pos 3 tanpa ada kendala berarti atau gangguan mistis seperti yang sudah-sudah. Setelah kejadian tadi, kami menjadi lebih fokus untuk mengarungi medan hingga tak terasa sampailah di Pos 2, suara Adzan Shubuh mulai terdengar sayup-sayup dari kejauhan. Perjalan dilanjutkan dengan tujuan Pos 1, sesampainya di lokasi yang dituju kami semua istirahat.

Setelah sekitar 10 menit beritirahat, perjalanan kami lanjutkan menuruni sebuah turunan terjal melewati sebuah sungai kecil membentang. Ada trek kecil menuju ke atas disamping kanan kami, kemudian terlihat ladang-ladang petani milik warga setempat. Lanjut menuruni jalur hingga sampai ke sebuah bangunan tempat mengurus simaksi di jalur Gunung Putri. Ada 3 orang yang berjaga di tempat itu, saya melaporkan diri dengan membawa surat jalan dari Cibodas dan sampah-sampah yang saya bawa dari atas. Semua rombongan berkumpul di Pos tersebut hingga terlihat sinar matahari mulai menerangi area tersebut.

Setelah urusan dengan pos simaksi selesai, kami pamit kepada penjaga dan menuruni jalan berbatu menuju pemukiman warga. Berhenti di mushola untuk bersih-bersih badan, menjelang siang kami berjalan kaki menuju pasar Cipanas untuk kembali ke rumah masing-masing. Di perjalanan saya, Polan dam Dodi mencecar Wedi dengan banyak pertanyaan. Terutama terkait batu yang dia bawa hingga mengakibatkan gangguan-gangguan mistis menimpa teman rombongan.

Menurut pengakuannya, sebelum masuk shelter Telaga Warna dia buang air kecil di balik pohon dan menemukan batu itu menyala-nyala. Kemudian batu itu diambil pada saat akan melewati rawa-rawa di jalur Cibodas. Ternyata itu penyebab rombonga kami yang total berjumlah 19 orang ini selalu diganggung sepanjang perjalanan pendakian Gunung Gede. Saya hanya bisa mengelus dada, untung saja masih bisa pulang dengan selamat, pikirku.

Selesai.

Demikian Cerita Mistis Gunung Gede yang dialami Ray dan kawan-kawan pada saat melakukan pendakian Gunung Gede tahun 2006. Adapun perlajaran yang dapat dipetik dari kisah tersebut yaitu untuk selalu bersikap baik dan taat terhadap aturan terutama di lingkungan yang asing.

Jangan lewatkan untuk membaca cerita pendaki menarik lainnya di blog ini ya.

Referensi:

Sumber cerita: facebook.com/groups/806938603369299/posts/990227978373693

Bagikan tulisan ini:
INFOGEPANG
INFOGEPANG

Melayani jasa akomodasi pendakian gunung Gede Pangrango berupa penginapan, guide & porter, transport, rental perlengkapan dan paket pendakian. Informasi terkait layanan silahkan menghubungi kami.