Cerita Mistis Gunung Gede: Diikuti Penunggu Telaga Warna (1)

Cerita mistis Gunung Gede Pangrango ini dibagikan oleh akun facebook bernama Rey Rey. Adapun cerita ini diadaptasi dari kisah nyata yang dialami penulis ketika melakukan perjalanan mendaki pertamanya ke Gunung Gede pada tahun 2006. Pendakian dilakukan pada malam hari, namun karena keteledoran salah satu kelompok pendaki mengakibatkan terjadinya gangguan-gangguan mistis sepanjang perjalanan mendaki.

Di beberapa bagian pada cerita dilakukan sedikit peneysuaian pada susunan dan pilihan kata yang digunakan agar lebih mudah dipahami. Namun tentunya tanpa merubah esensi dan alur dari cerita asli.

“Turun kalian semua dari sini, kalian kurang ajar, tidak izin masuk wilayahku!”

Keteledoran yang berbuah Ganguan Mistis

Saat itu musim libur sekolah, saya (Rey) sudah duduk di kelas 1 SMU dan baru saja punya KTP. Saya bersama 3 orang teman dari Jakarta yaitu Bamba, Aming dan Polan melakukan perjalanan untuk mendaki Gunung Gede. Kami berempat berangkat dari Jakarta melalui Stasiun Bogor dan sampai di Cibodas sekitar pukul 16.15.

Hampir magrib sekitar pukul 17.20 kami sampai ke loket pendaftaran dilanjutkan mengurus simaksi yang saat itu masih Rp3500 per orang. Dengan menyerahkan fotokopi KTP kepada petugas, kami diberikan arahan.

“Mau naik kapan dek?” Tanya petugas loket.
“Malam ini kang.” Jawab saya.
“Berapa orang?” Lanjut bertanya.
“Cuma berempat aja kang.” Saja jawab.

Kemudian petugas loket melanjutkan dengan memberikan arahan.

“Ya sudah, batas pendakian malam hanya sampai pukul 21.00 malam ini dan jangan tinggal di atas lebih dari dua malam. Istirahat sebentar di shelter Telaga Warna dan jangan buka tenda di pertigaan Air Terjun Cibereum.”

Kami semua mengangguk dan berterima kasih.

Selepas Isya kami berkemas untuk memulai pendakian, saat itu ada 2 rombongan pendaki dari Bandung berjumlah 8 orang dan dari Bekasi 7 orang. Total jumlah pendaki yang berangkat selepas isya pada malam itu ada 19 orang.

Kami mulai memasuki jalan berbatu seperti tangga, saya sendiri membawa lampu badai berisi minyak tanah sebagai penerangan jalan dan Bamba serta Polan membawa senter. Posisi saya ada di paling depan sedangkan Aming, Bamba dan Polan di belakang. Kemudian kami sampai di shelter Telaga Warna dan berhenti sebentar sesuai arahan petugas loket di bawah. Tapi rombongan dari Bekasi bablas tanpa berhenti, hanya rombongan Bandung yang beristirahat bersama kami.

Sekitar 10 menit beristirahat kemudian kami kembali melanjutkan perjalanan. Rombongan saya berada di depan, tanpa terasa melewati rawa-rawa yang banyak bebatuan dan air mengalir semata kaki. Kondisi jalan saat itu sangat licin tidak seperti sekarang yang sudah dibangun jembatan.

Perjalanan dilalui tanpa adanya gangguan, sedang disebelah kanan kami terdengar suara air jelas sekali hingga sampai di shelter pertigaan antara arah Air Terjun Ciberuem dan arah Air Panas. Rombongan saya berhenti sejenak menunggu datangnya rombongan Bandung, sekitar 10 menit mereka datang dan ikut beristirahat.

Kemudian kami berbaur dan bersenda gurau di shleter tersebut, namun di sinilah kami mulai mengalami keganjilan. Saat kami sedang beristirahat tiba-tiba rombongan Bekasi datang dari arah belakang dengan berlarian seperti ketakutan. Kami yang dari tadi duduk-duduk santai agak kaget dibuatnya, dalam hati saya “bukannya mereka tadi jalan duluan saat di shelter Telaga Warna.” Mereka datang dengan nafas yang terengah-engah dan menghampiri kami.

Kemudian Dodi dan Alvin dari rombongan Bandung bertanya kepada mereka

“ehh aya naon?” (ada apa?)

Namun mereka tidak menjawab dan langsung duduk merapat di tengah-tengah kami, muka mereka terlihat pucat. Belum sempat kami bertanya, dari arah belakang antara pertigaan tersebut terlihat ada sosok perempuan tinggi dan bungkuk memegang tongkat berjarak sekitar 15 meter dari tempat kami.

cerita mistis gunung gede pangrango
Ilustrasi sosok menyeramkan.

Sontak kami semua terdiam, lalu teman saya Polan berteriak

“yuk lanjutin jalan.”

Karena merasakan ada yang tidak beres, kemudian saya dan tiga teman kelompok bangun dan beranjak untuk melanjutkan perjalanan. Diikuti dengan rombongan Bandung dan Bekasi yang saling salip-menyalip antara rombongan. Hingga akhirnya sampai di sebuah shelter yang atapnya rubuh, kami semua berkumpul menjadi satu rombongan.

Sekitar 5 menit beristirahat, dengan sedikit berteriak saya mengajak untuk kembali melanjutkan perjalanan.

“Yuk lanjut!”

Namun salah seorang dari rombongan Bekasi menanggapi dengan nada sedikit kesal

“Jangan belagu lu, pake mau ninggalin orang yang kecapean.”

“Elu kalo capek istirahat aja di sini, gw mau lanjut sampe air panas.” Jawab saya tanpa melihat siapa orang yang menyahut ke arah saya karena suasana sangat gelap.

Tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul 00.30 dini hari, anggota rombongan saya semua masuk ke shelter Air Panas. Ada sebuah menara berdiri sebelum menyebrangi Air Panas malam itu, tempatnya tidak begitu luas. Saya berhenti sejenak menunggu rombongan Bandung, lalu mereka tiba 15 menit kemudian.

Kami kembali berkumpul dan melakukan diskusi kecil

“Ini licin airnya panas banget, hawanya aja sampai sini.” kataku.
Iya, harus satu-persatu lewatnya, jangan renggang.” jawab Dodi.
“Mana rombongan Bekasi?” Tanyaku.
“Itu ada di belakang.” timpal Dodi.

Kemudian kami satu per satu menyeberangi Air Panas dengan sangat hati-hati. Sebelum melanjutkan perjalanan, saya dan rombongan Bandung menyaksikan rombongan Bekasi menyeberangi Air Panas. Kagetnya, kami melihat sosok perempuan berbadan bungkuk itu bertengger di atas tas salah seorang dari rombongan mereka.

Dengan tertatih-tatih mereka melewati medan licin tersebut, mungkin tanpa mereka sadari bahwa sosok yang membuat mereka kocar-kacir sebelumnya kini tengah berada diantara mereka. Tanpa mempedulikan sosok tersebut, saya memutuskan untuk menghampiri dan membantu mereka yang tengah kesulitan menyeberangi medan Air Panas. Kemudian sosok itu tiba-tiba hilang entah kemana.

Kami berkumpul dan sekitar 10 menit beristirahat di sekitar Air Panas, lalu melanjutkan perjalanan. Kali ini rombongan Bekasi berada paling depan, melewati jalan sempit dan ada air terjun kecil di sebelah kanannya. Dalam perjalanan di medan yang sempit tersebut, rombongan saya dan Bandung kembali melihat sosok wanita tadi. Sosok itu berada tepat di depan kami dengan posisi membelakangi kami. Semakin kami mendekat, tercium bau busuk yang sangat menyengat dari arah sosok itu.

Suasana terasa semakin mencekam ketika kami melihat seperti banyak mata dari dinding-dinding pohon menatap ke arah kami. Suara-suara aneh seperti auman serigala menyertai perjalanan kami hingga tanpa terasa sampai di shelter Kandang Batu.

Kami memutuskan untuk beristirahat sejenak, namun lagi-lagi rombongan Bekasi bablas dan meninggalkan kami. Sialnya sosok perempuan tadi masih tetap mengikuti di belakang mereka. Saya masih diselimuti perasaan takut sejak kejadian di jalur sempit tadi, tiba-tiba Aming tertawa lirih seperti anak kecil dan berbicara ke arah kami

“Kalian tidak akan sampai dan tidak akan bisa pulang.”

Sontak kami semua merasa kaget dan panik. Seketika saya memegang badannya dan membantingnya ke tanah. Kemudian Polan dan Bamba memencet jari kaki Aming kanan dan kiri, kuping Aming saya bisikan bacaan-bacaan yang saya bisa. Rombongan Bandung ikut membantu dengan melafalkan ayat-ayat Al-Quran.

Sekitar 15 menit kemudian Aming akhirnya sadar dan berbicara

“Kita jangan berhenti di sini, kita sudah dikepung!”

Lalu saya merespon dengan menggampar pipi kiri dan kanan Aming “geplak”, Aming merintih dan kembali berbicara

“Apa-apaan si lu?!”

Kemudian semua berucap Alhamdulillah.. pikir kami Aming sudah benar-benar sadar, tapi ternyata mulutnya masih sesekali meracau

“Yuk jalan semua, tempat ini nggak aman.” Teriak Aming.

Akhirnya kami semua kembali bergerak untuk melanjutkan perjalanan hingga sampailah di Tanjakan Setan.

Tanjakan Setan ini bisa dibilang medan terberat yang harus kami lalui saat itu. Proses melewatinya sangat menyiksa karena medan yang terjal dan curam. Kami hanya bisa berpegang pada tali sling besi dan beberapa tali webing.

Waktu sudah menunjukan pukul 04.00 saat itu kami semua berkumpul di atas Tanjakan Setan. Sekitar lima menit kemudian perjalanan dilanjutkan, kali ini pepohonan melewati pepohonan yang rimbun, dengan medan melintasi akar pepohonan. Tiba-tiba langkah kami terhenti oleh perilaku Aming yang kembali meracau

“Jangan ganggu gue! jangan ganggu gue.” Ucap Aming dengan nada tinggi.

Polan yang berada didekatnya langsung berusaha untuk menenangkan

“Ming.. nyebut, nyebut!” Sambil mengusap wajahnya.

Lalu Aming kembali tersadar.

Posisi saat itu rombongan Bandung sudah bergerak mendahuli rombongan saya. Di sisi lain, kondisi Aming yang demikian, akhirnya rombongan kami berdiskusi. Maksudnya untuk menempatkan Aming diposisi tengah agar bisa sama-sama megnawal. Kemudian perjalanan dilanjutkan hingga tiba di persimpangan yang menuju puncak Mandalawangi Pangrango, Puncak Gede dan ke arah Kawah Gunung Gede.

Kami beristirahat sejenak, kemudian dari kejauhan di bawah tampak ada lampu senter bergerak ke arah kami, ternyata itu rombongan dari Bekasi. Saya kembali dibuat aneh, karena pada pertemuan sebelumnya di Air Panas mereka bergerak lebih dulu sehingga seharusnya mereka sudah berada jauh di depan rombongan kami. Tapi, kembali rombongan Bekasi ini muncul dari belakang rombongan kami.

Karena sudah merasa terlalu lelah, saya memilih untuk mengabaikan pikiran-pikiran aneh tersebut. Namun tiba-tiba suasana menjadi hening, saya memperhatikan ke arah rombongan Bekasi mereka terlihat kaku seperti patung dalam keadaan posisi merunduk. Ada apa lagi ini? Entahlah mungkin karena kelelahan jadi berhalusinasi, pikirku.

Maksud hati ingin mengucapkan “yuk lanjut jalan lagi!”, namun ketika saya menoleh ke arah persimpangan bercabang tiga tadi, Deg! Sosok wanita bungkuk dan bertongkat berdiri mengambang memandangi saya dengan jarak sekitar 3 meter di depan saya. Sosok itu menatap ke arah saya dan rombongan, tatapannya tajam dengan sorot mata warna merah.

sosok menyeramkan bermata merah
Ilustrasi sosok menyeramkan, sorot mata merah.

Kami hanya terdiam tanpa sepatah katapun terucap, sekitar 10 menit kemudian ada 2 orang pendaki yang datang untuk turun dari salah satu jalur persimpangan. Namun penampilan mereka terlihat tidak biasa, raut wajahnya lusuh, pakaiannya kusam dan memakai ransel era 80-an yang masih ada besinya di bagian belakang.

Kedua orang misterius itu melintas dengan menunduk dan menerabas sosok perempuan tadi tanpa berbicara sepatah kata pun. Saat saya perhatikan, mereka menuju ke arah Puncak Gunung Gede, tanpa disadari sosok wanita itupun hilang dari pandangan kami.

Seketika kami semua seperti tersadar, tanpa basa-basi saya langsung berdiri dan beranjak melanjutkan perjalanan ke atas mengikuti arah dua pendaki misterius tadi, diikuti rombongan yang ada dibelakang kami.

Waktu sudah menunjukkan pukul 05.00 warna langit mulai terlihat memerah, saya dan rombongan sampai di sebuah batu besar dengan sisi kiri bawahnya adalah Kawah Gunung Gede. Saya setengah berlari dengan tujuan ingin mengejar kedua pendaki tadi, namun saya tidak menemukannya bahkan jejaknya pun tidak ada. Mereka seperti hilang ditelan kabut tipis arah tanjakan menuju Puncak Gede.

Kami beristirahat sejenak lalu melanjutkan perjalanan hingga sampai di Puncak Gede pukul 05.50, melihat sunrise di atas puncak Gunung Gede dan gagahnya gunung Pangrango yang berada disebelah kiri kami. Setelahnya, kami bergegas menuruni ke arah alun-alun Suryakencana dan selesai mendirikan tenda sekitar pukul 07.30 pagi. Lokasi mendirikan tenda di dekat pintu Barat alun-alun Suryakencana disekitar plang bertuliskan Salabintana.

“Mereka” juga di Suryakencana

Saya pikir ganggunan mistis yang dialami saya dan rombongan sejak di Telaga Warna itu akan berakhir di sini, namun ternyata tidak.

Karena belum merasa puas merasakan kemping di atas ketinggian, kami berencana untuk bermalam kembali di alun-alun Suryakencana. Sekitar pukul 13.00 siang saya terbangun dari tidur, terlihat Suryakencana diselimuti kabut saat itu. Ketiga teman saya sedang memasak Mie Instant dan Teh Hangat untuk santap siang. Adapun terlihat tenda rombongan Bekasi ada tepat di sebelah kanan kami dan rombongan Bandung ada di belakang tenda Kami.

Selesai makan siang sekitar pukul 14.30, hujan gerimis membasahi Suryakencana sekitar 3 jam lamanya kami hanya bisa diam dalam tenda dan mengobrol ringan. Sekitar pukul 18.00 hujan berhenti, namun langit sudah cukup gelap. Dengan bantuan lampu badai, saya memasak air untuk menyeduh kopi, rombongan Bandung menghampiri kami dan menyodorkan nesting berisi bubur kacang hijau.

Kami ngobrol sambil duduk di rumput yang masih lembab setelah terkena hujan. Dengan penerangan seadanya, kami berdiskusi tentang banyak hal. Tiba-tiba 6 orang rombongan Bekasi berlarian keluar dari tenda menuju ke arah kami. Saya perhatikan sejak siang tadi mereka memang tidak terlihat banyak beraktifitas di luar tenda selain memasak.

Ketika berlarian ke arah kami, mereka terlihat panik dan berteriak

“Bang tolong bang, temen gw kesurupan!”

Melihat gelagat aneh dan suara teriakan mereka, saya dan rombongan Bandung langsung bergegas menghampiri. Sesampainya di pintu tenda, benar saja terlihat salah satu anggota rombongan berada di dalam tenda dalam keadaan meracau, berteriak-teriak dan tertawa cekikikan ala-ala mbak kunti. Jari tangannya menunjuk-nunjuk ke arah kami sambil berteriak

“Turun kalian semua dari sini, kalian kurang ajar, tidak izin masuk wilayahku!”

Dia mengamuk di dalam tenda, sampai Dodi dari rombongan Bekasi nekat menarik kakinya keluar tenda. Namun temannya yang kesurupan itu meronta-ronta, masih ketawa cekikikan sambil menunjuk-nunjuk

“Turun kalian semua, atau anak ini saya bawa ke alam kami!”

Polan datang dan melemparkan 3 helai tali tambang yangsudah diikat simpul ke arah kami. Dodi membanting temannya yang kesurupan itu jath ke tanah, dia semakin meronta-ronta, berteriak semakin keras

“Kalian berani melawanku?”

Kemudian saya berusaha untuk mengikat badan dan tangannya menggunakan 3 tali tambang, teman-teman lain yang berada di lokasi membantu memegangi badannya sambil membacakan doa-doa. Kami yang berjumlah lebih dari 10 orang saat itu cukup kewalahan menenangkannya, sekitar setengah jam berontak dan berteriak-teriak akhirnya dia pingsan.

Sekitar pukul 20.00 anggota rombongan Bekasi yang kesurupan tersebut saya bawa ke tenda rombongan saya.

“Bawa tenda lu deketan ke sini, kita semua kumpul terus gantian jagain dia supaya tidak makin parah.”

Sekitar pukul 21.00 dia tiba-tiba sadar dan terbangun, namun entah kenapa saat itu badan saya terasa sangat berat. Mungkin akibat kelelahan perjalanan mendaki ditambah ganggguan-ganguan sepanjang perjalanan. Kemudian saya meminta rombongan Bekasi untuk berkumpul lalu bertanya kepada meraka

“Elu semua saat di shelter Telaga Warna, bablas kan?” Tanya saya, agak lemas.

Mereka semua mengangguk.

Dengan suara setengah berbisik saya mengatakan kalau ada penghuni di sini yang merasa terganggu dengan keberadaan kita. Karena alasan tersebut, saya menyarankan rombongan Bekasi untuk tidak turun malam ini. Melainkan kita packing dan turun bareng besok pagi.

Lanjut saya mengatakan bahwa ganguan-ganguan ini mungkin terjadi akibat dari keteledoran kita yang tidak mau mendengarkan dan mematuhi arahan petugas di loket simaksi. Salah satunya yang dilakukan rombongan Bekasi yang menerobos dan bablas ketika sampai di shelter Telaga Warna.

“Elu semua kagak berhenti sejenak di wilayah itu, sama aja kita nggak menghormati (izin) kepada “mereka” yang ada di wilayah tersebut.” tegas saya, agak kesal.

Kami semua bersepakat untuk turun esok harinya. Namun sepanjang malam kami masih mendapatkan gangguan-gangguan yang membuat kami susah untuk memjamkan mata. Diantara gangguan-gangguan tersebut seperti banyak suara langkah kaki yang berlalu lalang disekitar tenda dan suara musik gamelan dari berbagai penjuru.

Karena gangguan tersebut, kami memutuskan untuk bergantian berjaga agar tidak terjadi hal lain yang lebih buruk.

Cerita kisah perjalanan kami belum selesai sampai di sini, perjalanan turun kami pun tidak lepas dari kejadian-kejadian ganjil yang sulit diterima akal.

Bersambung…

Nantikan lanjutan kisah yang berjudul Cerita Mistis Gunung Gede: Diikuti Penunggu Telaga Warna pada tulisan berikutnya. Jangan lupa untuk membaca cerita pendaki menarik lainnya di blog ini.

Update: Kisah lanjutannya sudah ada Cerita Mistis Gunung Gede: Diikuti Penunggu Telaga Warna (2).

Referensi:

Sumber cerita: facebook.com/groups/806938603369299/posts/989899741739850

Bagikan tulisan ini:
INFOGEPANG
INFOGEPANG

Melayani jasa akomodasi pendakian gunung Gede Pangrango berupa penginapan, guide & porter, transport, rental perlengkapan dan paket pendakian. Informasi terkait layanan silahkan menghubungi kami.